Mengenal Ferry Kusnowo, Chief Customer Experience Officer Lazada Indonesia
Ferry Kusnowo, jebolan KPMG dan Walmart yang kini berlabuh di Lazada Indonesia, berbicara tentang karir, konsumen dan generasi muda Indonesia
Sebagai salah satu unit bisnis terbesar dari Alibaba Group di Asia Tenggara, Lazada Indonesia tentu memiliki pemimpin-pemimpin hebat. Salah satunya adalah Ferry Kusnowo, yang menjabat sebagai Chief Customer Experience Officer di Lazada Indonesia. tanggung jawab Ferry tidak hanya mengoptimalkan kepuasan pelanggan, namun juga memastikan bahwa para *seller* di Lazada mendapatkan kepuasan yang sama.
Sosok Ferry Kusnowo memang cukup baru di Lazada. Pasalnya, Ferry baru pulang ke Indonesia setelah lebih dari 20 tahun tinggal dan bekerja di luar negeri. Setelah lulus SMA dari Indonesia, Ia berkuliah di Amerika Serikat, mengambil jurusan bisnis di University of California, Los Angeles (UCLA).
“Masa-masa saya di Amerika Serikat bisa terbagi menjadi dua bagian. Bagian awal adalah ketika saya bekerja di perusahaan konsultan, dan yang kedua adalah di Walmart,” ujarnya. Comsys, Keane, dan KPMG merupakan beberapa konsultan tempat ia bekerja sebelumnya. “Setelah berkeluarga, saya memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka, sehingga pindah dari dunia konsultan.”
Ketika menjadi konsultan, Ferry banyak belajar tentang tata kelola sebuah organisasi, mulai dari meningkatkan produktivitas hingga membuat sistem kerja. Di Walmart, ia menangani banyak divisi, mulai dari sistem pertokoan, procurement, bahkan hingga mengelola sistem untuk sumber daya manusia HR.
Alasannya kembali ke Indonesia juga tidak jauh-jauh dari keluarga. “Pertama, saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan orangtua dan mertua saya. Saya juga ingin anak-anak saya mengenal akar saya dan mereka, yaitu Indonesia,” jelasnya.
Ferry sudah memiliki rencana untuk kembali semenjak beberapa tahun lalu. Setelah berbicara dengan banyak instansi, ia akhirnya memutuskan untuk terjun ke bidang e-commerce. “Saya pikir, industri ini baru berada dalam tahap awal di Indonesia. Potensi perkembangannya sangatlah besar. Setelah berpikir panjang, akhirnya saya merasa bahwa Lazada merupakan tempat sempurna untuk melakukan hal tersebut,” ujarnya.
“Pada akhirnya, yang saya kejar adalah kesempatan untuk membawa impact yang bermakna kepada perekonomian Indonesia dan Asia Tenggara. Dengan masuknya Alibaba, saya pikir baik timing maupun match-nya sangat tepat,” ungkap Ferry.
Bekerja dengan Tim Dinamis dan Generasi Muda
Ferry mencoba menjelaskan esensi dari peran utamanya sebagai Chief Customer Experience Officer. “Sebagai platform, pelanggan Lazada bukan hanya pembeli, namun juga penjual. Tugas saya dan tim adalah memastikan pembeli mampu menemukan, membayar, dan menerima produk yang diinginkan. Di sisi lain, kami juga fokus meningkatkan pertumbuhan bisnis untuk para seller Lazada, mulai dari menggaet pelanggan hingga menerima pembayaran tanpa repot,” jelasnya.
Peran tersebut baginya tidak hanya sebatas ‘memadamkan api’ ketika terjadi masalah, namun ia justru lebih serius dalam mengantisipasi masalah dan menyediakan solusi sebelum masalah tersebut terjadi. Ferry menganggap, sistem yang antisipatif menunjukkan bahwa perusahaan telah memprioritaskan pelanggan mereka dengan baik.
Pengalaman di luar negeri cukup membantu Ferry mendapatkan perspektif tentang apa yang dapat dilakukan di Indonesia. Tidak hanya di Amerika Serikat, pengalamannya di Tiongkok juga membantunya memahami sistem kerja perusahaan global dan betapa menariknya bekerja dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Saat pertama kali memasuki Lazada, ia mengaku senang karena menemukan banyak sekali talenta dengan latar belakang dan pengetahuan yang beragam.
Menurut Ferry, talenta sumber daya manusia di Indonesia, Tiongkok, dan Amerika Serikat punya satu kesamaan, yaitu keinginan untuk selalu berkembang dan maju. Perbedaannya hanya terletak pada cara mereka berkembang. “Di Tiongkok misalnya, mereka cukup fokus dan cepat menyelesaikan masalah. Sementara di Amerika, prosesnya lebih beragam dan melibatkan banyak prosedur,” jelasnya. “Namun untuk Indonesia sendiri, saya masih mencoba memahami cara talenta kita berkembang.”
Baru memulai karir di Lazada pada awal tahun 2019, ia sedikit merasakan culture shock. Walau ia tumbuh besar di Indonesia, Indonesia yang sekarang dipenuhi oleh generasi milenial yang muda dan cakap teknologi, berbeda sekali dengan Indonesia 20 tahun lalu. “Saya sangat kagum dengan banyaknya individual bertalenta yang hadir saat ini. Tidak hanya di Lazada Indonesia, namun juga di tim regional, Alibaba, dan proyek-proyek lain,” ungkap pria yang mengambil jurusan Master of International Finance di Loyola Marymount University ini.
Tantangan dalam Melayani Konsumen Indonesia
Selain sisi talenta, Ferry juga memberikan beberapa perbedaan antara kebutuhan pasar Amerika, Tiongkok, dan Indonesia. Menurutnya, Amerika merupakan masyarakat yang cukup mengandalkan desktop dan komputer dalam membeli barang, begitu juga sebagian konsumen Tiongkok. Menariknya, Indonesia merupakan negara yang melompati booming-nya internet, dan langsung mengadopsi tren mobile-first. Dalam berbelanja, Indonesia selalu mengandalkan ponsel. Karena itulah, banyak sekali e-commerce di Indonesia yang lebih fokus memberikan pengalaman di aplikasi mobile dibandingkan desktop.
Perbedaan lain yang signifikan terletak pada sisi pembayaran. Ferry mengungkapkan, di Amerika Serikat, penggunaan kartu kredit sangat umum. Sementara di Indonesia, penetrasi kartu kredit hanya sekitar 2% dan metode pembayaran cash on delivery lebih populer untuk digunakan. Di Tiongkok, dompet elektronik memiliki jumlah pengguna yang tinggi. Sementara itu, Indonesia masih dalam proses migrasi ke arah yang sama. Hal ini menjadi tantangan yang unik, bagaimana e-commerce dapat memberikan proses pembayaran yang mudah bagi penjual dan pembeli.
Menurut Ferry, salah satu tantangan terbesar di Indonesia adalah urusan logistik. Berbeda dengan dua negara adidaya yang geografinya berupa bentangan daratan, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau menuntut solusi pengiriman dan pengembalian barang yang baik. Walau Jawa dan Bali sudah memiliki sistem yang cukup mumpuni, pengiriman pada pelanggan di Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur masih cukup menantang.
Keunikan Pasar Indonesia
Ferry tidak merasa bahwa tren yang terjadi di luar negeri akan selalu terjadi di Indonesia. Contohnya, Indonesia menyambut baik konsep shoppertainment atau hiburan ketika berbelanja. Orang Indonesia lebih gemar mencari hiburan, seperti live streaming, bermain gim, kuis, tutorial, sehingga membuka peluang bagi tren ini untuk menjadi lebih besar.
Selain itu, tren group buy atau ramai-ramai membeli yang sempat didorong oleh Lazada beberapa saat lalu juga semakin populer. “Konsepnya, semakin banyak Anda mengajak teman atau orang di sekeliling Anda membeli, maka semakin murah barang Anda. Pada akhirnya, semua orang akan lebih senang berbelanja bersama,” tambahnya.
Dalam hal ini, Ferry berpendapat bahwa Lazada adalah pencipta tren, dan tidak mengikuti hal yang sudah dilakukan oleh pihak lain. Misalnya saja, Lazada menjadi pelopor tren shoppertainment. Karena kesuksesan tersebut, banyak e-commerce yang melakukan hal yang sama. Inilah pengalaman unik berbelanja di Lazada, pengguna dapat menikmati berbagai inovasi yang didukung oleh teknologi Alibaba.
Untuk mendukung upaya itu, Ferry juga terus memberdayakan dan melatih para seller agar bisa memberikan layanan terbaik. LazStar Academy mengundang seller yang sudah sukses di Lazada dan Alibaba untuk membagikan tips dan trik kepada penjual yang ingin berkembang. Mereka terbuka untuk berbagi ilmu, tanpa harus merasa curiga atau takut idenya dicuri. “Pada akhirnya, happy sellers means happy customers, and happy customers means happy Lazada,” pungkasnya.
Menjaga Work-Life Balance
Bila tidak sedang bekerja, Ferry biasanya menghabiskan waktu dengan bersantai di kafe atau jogging. “Terkadang, saya berlari untuk menjernihkan pikiran. Atau, biasanya saya suka mencari cafe-cafe bagus yang tersembunyi. Di Jakarta, kita semua dimanjakan. Walau terkadang saya masih kangen luar negeri kalau terkena macet di sini,” kata Ferry.
Ferry juga termasuk family man. Ia selalu menghabiskan waktu dengan anak-anak sebelum berangkat kerja. Sebisa mungkin, ia selalu fokus dan tidak setengah-setengah. Ketika sedang sibuk, ia bersedia untuk mengurangi pertemuan dengan keluarga. Sebaliknya, ketika sedang bersama keluarga, ia tidak mau diganggu oleh pekerjaan sama sekali.
Setiap tahun, ia rutin mengambil cuti minimal 2 kali untuk menikmati family time dan bertamasya. Libur Lebaran lalu misalnya, ia mampir ke pulau Komodo. Ia merasa sulit melewatkan keindahan spot-spot keajaiban dunia yang ada di Indonesia. Ditanya tentang tujuan perjalanan selanjutnya, ia dengan mantap menjawab Kepulauan Maluku dan Raja Ampat.
Fokus dan dedikasi Ferry untuk pekerjaan dan keluarga sebetulnya terinspirasi dari Ibunya. Memiliki 5 anak, ia memulai karir pada usia 30 akhir, membangun bisnis sembari memastikan bahwa anaknya mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. “Beliau mengajarkan saya bahwa tidak ada kata terlambat. Itulah yang saya pegang sebelum pulang ke Indonesia setelah 20 tahun. “Never too late to come back home,” tuturnya.
Terakhir, Ferry juga ingin menginspirasi generasi Indonesia yang lebih muda. Ia menyarankan untuk selalu berbagi, baik pengalaman maupun pengetahuan. “It’s not what you gather in life, rather what you scatter that determines what kind of life you’re living. Itulah yang saya katakan pada tim saya,” ungkapnya. Artinya, bukan apa yang kita dapatkan, melainkan apa yang kita taburlah yang menentukan hidup kita. Dalam proses ini juga penting agar kita tidak tergesa-gesa. Adalah hal yang penting untuk belajar sebanyak mungkin dan membangun fondasi yang kokoh sebelum naik tingkat terlalu cepat.
“Karir adalah maraton, bukan sprint.”
Bagikan
Link Telah Disalin